
kisah di balik combat Mahoutokoro A.R.
STORYLINE


I. Dunia Retak
Sebelum langit retak dan tanah mengerang, Combat adalah lambang kehormatan. Sebuah disiplin purba di Mahoutokoro, yang tidak hanya melatih teknik bertempur, tetapi membentuk nyali baja dan nalar tajam. Mereka yang terpilih menjalani Combat bukan sekadar pejuang, mereka adalah tombak pertama jika kegelapan datang mengetuk. Dan lama, lama sekali, dunia sihir Jepang percaya bahwa hari itu tidak akan pernah tiba.
Lalu, Kobayashi muncul.
Nama itu pernah terdaftar di arsip Mahoutokoro, dahulu seorang cendekia berbakat, tenggelam dalam ambisinya sendiri. Ia bukan sekadar berpaling, ia membelah jalur ke sisi yang tak bisa disebutkan tanpa rasa menggigil. Dialah yang membuka Gerbang Kegelapan, membiarkan dunia menyaksikan horor yang selama ini terkubur dalam kitab-kitab terlarang. Dari celah itu, mereka datang, makhluk yang tidak mengenal cahaya, tidak bisa dibunuh dengan mantra biasa, dan tidak gentar pada apa pun kecuali kehampaan.
Combat adalah benteng pertama.
Dan menjadi kuburan pertama pula.
Satu demi satu praktisi terbaik gugur. Sebagian lainnya—terburuk dari semuanya—memilih mengabdi pada Kobayashi, terpikat oleh janji kekuatan yang membisik dalam gelap. Kepercayaan hancur. Struktur runtuh.
Komunitas Sihir Jepang, dalam detak-detik tergelapnya, memutuskan satu hal: Combat harus dihentikan. Bukan karena gagal. Tapi karena tak ada lagi yang tersisa untuk melanjutkannya. Selama bertahun-tahun, namanya hanya tinggal gaung dalam lorong-lorong kosong. Aula pelatihan ditutup. Senjata-senjata sakral disegel. Anak-anak masa kini hanya mendengar bisikannya dalam cerita malam, tentang mereka yang pernah berdiri di garis depan, lalu lenyap tanpa kubur.
Namun bahkan dalam tidur panjang, api itu tak pernah benar-benar padam. Dan dunia—seperti biasa—tak pernah belajar bahwa kegelapan selalu tahu jalan pulang.

II. Bara yang Menolak Padam
Dunia sihir tak buta. Hanya memilih menutup mata.
Hari-hari berlalu di balik dinding Mahoutokoro yang menjulang megah, namun retakan-retakan samar mulai terasa, terutama bagi mereka yang masih mau merasa. Aura langit bergeser. Roh-roh penjaga kian gelisah. Tanah tempat mereka menapakkan kaki sesekali berbisik dalam gemetar halus: sesuatu sedang bergerak.
Dan tak seorang pun mendengar.
Atau tak seorang pun ingin mendengar.
Kecuali dua orang. Ryoumen Shō dan Dōmoto Reiken.
Mereka bukan peramal, bukan pula penyelamat. Hanya dua penyihir yang tak bisa tidur di malam hari karena satu kesadaran menggerogoti dada: Dunia tidak siap.
Mahoutokoro telah beberapa kali diguncang oleh entitas-entitas bayangan yang mencoba merayap masuk. Tidak ada peringatan. Tidak ada sistem siaga. Tidak ada Combat. Dan yang lebih menakutkan, tidak ada yang peduli.
Tapi mereka peduli.
Dan dari kegelisahan itulah api kecil menyala kembali. Shō dan Reiken menolak menjadi saksi bisu bagi kehancuran kedua. Mereka menyerahkan laporan ke kementerian, penuh data, rekaman aura, jejak magis yang tak dapat dibantah. Tapi lebih dari itu, mereka bergerak. Menapaki jejak-jejak lama. Membuka kembali peta perang yang telah dilupakan. Melacak satu per satu praktisi Combat yang selamat… atau setidaknya, masih waras. Perjalanan mereka tidak mudah.
Ada yang memilih menghilang.
Ada yang terlalu hancur untuk kembali.
Ada pula yang menyambut mereka dengan sihir menyala siaga di tangan, mencurigai mereka sebagai pengikut Kobayashi baru yang mencoba menjebak.
Namun, mereka tidak mundur. Dan dari reruntuhan, perlahan-lahan, nama itu kembali disuarakan. Combat. Bukan sebagai nostalgia. Tapi sebagai perlawanan. Mereka tidak sekadar membangkitkan nama lama. Mereka mendirikan kembali institusinya, dengan wajah baru yang lebih siap menantang zaman.
Kantor Combat, menjulang megah di pantai timur Onogoro, dibangun bukan untuk bersembunyi, tapi untuk menjadi penanda bahwa dunia sihir tak lagi tinggal diam. Bangunan itu berdiri kokoh di tepi laut, menatap ufuk timur tempat cahaya pertama muncul, simbol bahwa pelatihan ini bukan sekadar persiapan, tapi peringatan bagi kegelapan: kami melihatmu.
Cabang khusus dibuka di Mahoutokoro, berfokus melatih para murid dari usia muda. Tidak ada ruang untuk sekadar "coba-coba". Setiap peserta dilatih seolah-olah hari esok tak akan datang. Karena mungkin memang tidak akan.
Para penyihir dewasa dari seluruh Jepang mulai berdatangan. Yang pernah bertempur, yang pernah kehilangan, yang baru ingin belajar. Dan bagi yang muda, Combat bukan lagi legenda, melainkan pelajaran wajib. Mereka dilatih bukan untuk menjadi pahlawan. Tapi untuk tidak menjadi korban.
Kali ini, tidak akan ada kejutan kedua. Combat kembali. Bukan dalam bayang-bayang. Tapi dalam terang yang menusuk tajam, terang yang memaksa dunia sihir untuk membuka mata, bersiap, dan berdiri.

III. Senjata Terselubung
Combat tidak hanya mengajarkan cara bertahan hidup. Ia menandai mereka yang siap hidup dengan satu kaki di dunia yang tak pernah dilihat orang biasa.
Apa yang tak diketahui banyak penyihir adalah bahwa setiap praktisi Combat yang terdaftar secara resmi di bawah Kementerian Sihir Jepang, secara otomatis, adalah bagian dari unit rahasia paling senyap yang pernah diciptakan bangsa sihir: Black Ops.
Tidak ada seleksi khusus. Tidak ada surat penugasan. Begitu seseorang menyelesaikan pendaftaran sebagai seorang praktisi Combat dan namanya tercatat dalam registri utama, mereka tidak hanya menjadi petarung…
Mereka menjadi bayangan.
Keberadaan Black Ops tidak diumumkan. Bahkan di dalam kementerian sendiri, hanya sedikit yang benar-benar tahu di mana batas Combat berakhir dan Black Ops dimulai. Tapi para praktisi tahu. Karena mereka hidup dengan kode ganda. Mereka dikirim untuk melaksanakan misi-misi yang bahkan tidak tercatat dalam arsip umum. Tidak dibahas dalam rapat terbuka.
Mereka bergerak senyap, menyusup ke wilayah-wilayah yang sudah lama dihapus dari peta resmi:
Kuil mati yang dibungkus kutukan.
Lembah bisu tempat waktu berjalan mundur.
Reruntuhan kota bawah tanah yang kini dihuni entitas yang tidak bisa disebut dengan nama.
Dan tempat mengerikan lainnya.
Target mereka?
Sisa-sisa pengikut Kobayashi. Sekte liar yang memelintir sihir menjadi alat penderitaan. Makhluk-makhluk gelap non-manusia yang terbentuk dari kebocoran Gerbang Kegelapan—dilahirkan bukan untuk hidup, melainkan untuk menghancurkan.
Dan dalam setiap misi, satu aturan tak tertulis selalu dibawa:
Jika kalian ditangkap, tidak ada yang akan menyelamatkan.
Karena keberadaan kalian tidak pernah ada.
Namun mereka tetap berangkat. Bukan karena tidak takut. Tapi karena mereka tahu—jika bukan mereka, maka siapa?

IV. Dalam Api, Kami Berdiri
Combat bukan warisan. Bukan sekadar sistem pelatihan, bukan pula nama yang terpahat di arsip sekolah sihir. Combat adalah sumpah hidup, dibangun dari puing kehancuran, disatukan oleh mereka yang menolak menyerah, dan ditempa oleh rasa kehilangan yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Dulu, dunia sihir tak siap. Gerbang Kegelapan dibuka, dan dari celah itu, lahir luka yang tak kunjung sembuh.
Tapi kali ini, mereka bersumpah, tidak akan ada kobaran yang membakar tanpa perlawanan. Tidak akan ada bayangan yang bergerak tanpa disambut cahaya. Kini Combat berdiri kembali, terang-terangan. Kantornya menjulang di pantai timur Onogoro, menjadi tanda bahwa kesiagaan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Di Mahoutokoro, para murid dilatih dengan tangan gemetar tapi mata menyala. Karena mereka tahu, kelak bukan hanya nilai ujian yang dipertaruhkan, tapi nyawa.
Kegelapan mungkin akan datang lagi. Ia akan menyelinap dalam kabut, merayap dalam lengah, dan menghantam tanpa aba-aba. Tapi kali ini, ketika ia datang…
Ia akan disambut.